Teras

Minggu, 22 Mei 2011

How Can I (DBSK-HoMin)



Words that I shouldn’t have heard
A call that I’d like not to respons
Words that make me speechless
Words that don’t care about my feelings at all
How can I forget you? Should I try all of my effort to forget you?
Will we ever be able to go back to how we used to be?
Last words which made us loss of words

When I told you that I love you
You stopped and my heart  felt like it would explode
I stopped and only wait for your next words
How can I forget you? Should I try all of my effort to forget you?
Will we ever be able to go back to how we used to be?

Words that only give me pain
The words “let’s break up”

If we could only stop, If we could only erase,
If we could only go back in time to the day when we first met...
How can I forget you? Should I try all of my effort to forget you?
Will we ever be able to go back to how we used to be?

My tears flow blocking my lips, freezing my words
A conversation which I don’t want to believe
How can I forget you? Should I try all of my effort to forget you?
Will we ever be able to go back to how we used to be?

Because I still love you
Even if it was a dream, I don’t want to believe those words



"How can I forget you? Should I try all of my effort to forget you? Will we ever be able to go back to how we used to be?"
This statement sounds so brokenheart......

"Words that only give me pain. The words “let’s break up”"
Well..... siapa yang pernah punya pengalaman patah hati alias diputusin pacar? Yang pernah merasakannya mungkin akan merasa lagu ini mewakili isi hatinya. Mungkin ada yang nggak percaya kalau hal itu terjadi, meskipun putus itu cuma dalam mimpi ("Even if it was a dream, I don’t want to believe those words"). Atau mungkin saking shock-nya karena nggak nyangka bakal diputusin, sampai kehilangan kata-kata. Yang bergerak cuma air mata yang membasahi bibir, membekukan suara kita sampai di tenggorokan ("My tears flow blocking my lips, freezing my words"). Ada juga yang merasa nggak sanggup. "Bagaimana aku bisa hidup tanpamu?" atau "Nggak bisakah kita balik kayak dulu?" Itu kata-kata klise yang sering terucap. Ada yang menyesali "kenapa hari itu aku mau diajak ketemuan kalau ternyata hanya untuk diputusin?" Dan ada juga tipe yang ingin menghentikan waktu (seandainya mereka punya kemampuan untuk itu) atau kembali ke masa lalu, ke masa-masa saat perasaan sayang yang mereka rasakan sedang indah-indahnya, masa-masa saat mereka baru pertama bertemu, baru pertama menjalin kasih... ("If we could only go back in time to the day when we first met...").
     Tidak ada yang salah dengan semua itu. Wajar saja orang yang patah hati menyesal, berpikir ini itu, berandai-andai jika kata-kata putus itu tidak pernah terucap dan hubungan mereka dengan sang kekasih baik-baik saja, mesra seperti biasa. Tetapi, bangunlah, kawan! Maybe our heart was broken, but life must go on!
     Orang-orang seringkali terlalu terpaku dengan rasa sakit yang mereka rasakan ketika patah hati, sehingga mudah goyah dan cenderung berpikir singkat untuk mengakhiri hidup. Sekali lagi pertanyaan klise "Bagaimana aku bisa hidup tanpamu?" menjadi tameng sebagai alasan mengakhiri hidup karena patah hati. Tetapi, coba deh, kalau kita berpikir ke depan. Bukankah masih ada keluarga kita? Bukankah masih ada sahabat-sahabat dan teman-teman kita? Bukankah kita masih punya impian yang belum terwujud? (Dan bukankah masih ada banyak bintang di langit? Hehehe)
     Yang lebih menyakitkan adalah ketika kita tidak melakukan apa-apa, hanya diam dan menerima ketika kata putus itu terucap.
"When I told you that I love you, You stopped and my heart felt like it would explode"
Ya, tepat seperti itu, ketika kita tidak bisa mengungkapkan apa yang ingin kita ungkapkan, hati terasa perih terbakar luar biasa, seakan-akan mau meledak (lebay dikit, ya :p). Dan mungkin karena itulah, karena orang-orang dibuat speechless akibat mendengar kata putus, mereka tidak bisa mengeluarkan isi hatinya. Pembelaankah, pertanyaan mengapa demikiankah, atau yang lainnya. Mungkin ini juga disebabkan karena yang memutuskan kita tidak ingin berlama-lama dalam suasana 'kurang nyaman' itu, sehingga ingin cepat-cepat mengakhiri pembicaraan. Tetapi, seandainya saja kedua pihak saling memberikan kesempatan untuk mengutarakan isi hati, mungkin akan lebih baik (meskipun sakit hati tetap saja jalan). Siapa tahu ternyata semua cuma salah paham dan nggak jadi putus... (siapa tahu...)
     Seringkali putus menyebabkan hubungan yang dulunya baik justru berubah menjadi permusuhan. Mengapa? Karena itulah cara termudah untuk melupakan rasa sayang pada orang yang memutuskan kita. Lebih mudah untuk melupakannya jika kita membencinya dan menghindarinya. Itu alasan yang sering terdengar. Tetapi pernahkan terpikir justru itulah yang membuat kita susah melupakan dan semakin terpuruk? Kita memaksakan diri untuk membayangkan bahwa kita membencinya karena diputuskan olehnya. Kita tidak menyayanginya lagi, yang ada hanya benci, rasa sakit hati. Pengingkaran-pengingkaran itu sering terjadi. Kita seringkali mengingkari kalau kita masih menyayanginya karena gengsi. Namun, justru pengingkaran itulah yang melukai kita lebih dalam.  Dan lagi-lagi, perasaan itu akan berujung pada keinginan bunuh diri. Bayangkan jika kita benar-benar mengakhiri hidup, bukankah justru membuat lebih banyak kekacauan? Bukan hanya di hati kita, tapi juga di hati keluarga, dan orang yang kita sayangi. Apakah nyawa adalah hal yang setimpal untuk sebuah kata putus? No isn't! It's the worst option
     Mengapa kita harus memaksakan hati kita untuk membencinya jika ternyata rasa sayang itu masih tersisa sebegitu besarnya? Mengapa kita tidak memberikan waktu pada hati kita untuk tetap menyimpan rasa sayang itu? Tentu saja ini tidak sama dengan menyimpan rasa sayang itu dan memaksanya untuk tetap menjadi pacar kita. Kita hanya perlu berdamai dengan hati kita, memberikan waktu pada hati kita untuk melepasnya pelan-pelan. Melepaskan rasa sayang juga perlu proses, sama seperti ketika menumbuhkan rasa sayang itu. Kita tidak mungkin memaksa bayi yang baru bisa merangkak untuk langsung mengikuti lomba lari. Berikan waktu pada hatimu untuk melepaskan orang yang kamu sayangi. Just do it.
     "Putus" boleh saja melukai hatimu, tapi tidak cukup besar untuk menghentikan masa depanmu dan mimpi-mimpimu. Bagaimana kalau ternyata setelah putus kamu justru menjadi orang sukses? (Bikin lirik lagu patah hati trus dinyanyiin sampai go international, mungkin... Nulis puisi yang dikenang sampai anak cucu cicit kita mungkin... Atau malah tercipta novel yang mampu jadi best-seller mungkin... Dan masih banyak kemungkinan-kemungkinan yang lain). Bagaimana kalau kamu justru bertemu dengan "the real one" yang benar-benar ditakdirkan sebagai pasangan hidupmu? Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan, semua masih misteri. Tapi jika jalan pintas mengakhiri hidup yang  kamupilih, kita tidak akan pernah tahu seperti apa misteri masa depan akan terpecahkan... Sangat disayangkan jika hidup ikut dikorbankan bersama hati yang patah. So, say no to suicide! ;)